BIOPESTISIDA
2.1 Pengertian Pestisida
Pestisida adalah substansi (zat) kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan berbagai hama. Berdasarkan asal katanya pestisida berasal dari bahasa inggris yaitu pest berarti hama dan cida berarti pembunuh. Yang dimaksud hama bagi petani sangat luas yaitu : tungau, tumbuhan pengganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi (jamur), bakteria dan virus, nematoda (cacing yang merusak akar), siput, tikus, burung dan hewan lain yang dianggap merugikan. pestisida adalah semua zat kimia atau bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk :
2.1 Pengertian Pestisida
Pestisida adalah substansi (zat) kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan berbagai hama. Berdasarkan asal katanya pestisida berasal dari bahasa inggris yaitu pest berarti hama dan cida berarti pembunuh. Yang dimaksud hama bagi petani sangat luas yaitu : tungau, tumbuhan pengganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi (jamur), bakteria dan virus, nematoda (cacing yang merusak akar), siput, tikus, burung dan hewan lain yang dianggap merugikan. pestisida adalah semua zat kimia atau bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk :
1.
Memberantas
atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang merusak tanaman atau
hasil-hasil pertanian.
2.
Memberantas
rerumputan.
3.
Mematikan
daun dan mencegah pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman, tidak
termasuk pupuk.
4.
Memberantas
atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan peliharaan dan ternak.
5.
Memberantas
dan mencegah hama-hama air.
6.
Memberikan
atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah tangga,
bangunan dan alat-alat pengangkutan, memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat
menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan
penggunaan pada tanaman, tanah dan air.
Gangguan
pada tanaman bisa disebabkan oleh faktor abiotik maupun biotik. Faktor abiotik
diantaranya keadaan tanah (struktur tanah, kesuburan tanah, kekurangan unsur
hara) ; tata air (kekurangan, kelebihan, pencemaran air) ; keadaan udara
(pencemaran udara) dan faktor iklim. Gangguan dari faktor abiotik bisa diatasi
dengan tindakan pengoreksian atau tidak bisa dikoreksi dengan penggunaan
pestisida. Sedangkan faktor biotik yang menyebabkan gangguan pada tanaman atau
biasa disebut dengan organisme pengganggu tanaman (OPT). OPT dibagi menjadi 3
kelompok, yaitu : Hama (serangga, tungau, hewan menyusui, burung dan moluska) ;
Penyakit (jamur, bakteri, virus dan nematoda) dan Gulma (tumbuhan pengganggu). Gangguan
yang disebabkan oleh OPT inilah yang bisa dikendalikan dengan pestisida.
2.2 Penggolongan Pestisida Berdasarkan OPT (Organisme
Pengganggu Tanaman)
1.
Insektisida
adalah bahan yang mengandung senyawa kimia yang bisa mematikan semua jenis
serangga.
2.
Fungisida
adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun dan bisa digunakan untuk
memberantas dan mencegah fungsi/cendawan.
3.
Bakterisida
merupakan senyawa mengandung bahan aktif beracun yang bisa membunuh bakteri.
4.
Nermatisida
digunakan untuk mengendalikan nematode/cacing
5.
Akarisida
atau mitisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia yang digunakan untuk
membunuh tungau, caplak dan laba-laba.
6.
Rodenstisida
adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan untuk
mematikan berbagai jenis binatang pengerat, misalnya tikus.
7.
Moluskisida
adalah pestisida untuk membunuh moluska, yaitu : siput, bekicot serta tripisan
yang banyak dijumpai di tambak.
8.
Herbisida
adalah senyawa kimia beracun yang dimanfaatkan untuk membunuh tumbuhan
pengganggu seperti gulma.
9.
Algasida digunakan untuk mengendalikan ganggang (algae).
10. Pilkisida
digunakan untuk mengendalikan ikan buas.
11.
Avisida
digunakan untuk meracuni burung perusak hasil pertanian.
12.
Antraktan
digunakan untuk menarik atau mengumpulkan serangga.
13.
ZPT
digunakan untuk mengatur pertumbuhan tanaman yang efeknya bisa memacu
pertumbuhan atau menekan pertumbuhan.
14. Plant Activator digunakan untuk merangsang timbulnya kekebalan
tumbuhan sehingga tahan terhadap penyakit tertentu.
2.3
Pestisida Biologi
Pestisida Biologi adalah pestisida
yang mengandung mikroorganisme seperti bakteri patogen, virus dan jamur.
Pestisida biologi yang saat ini banyak dipakai adalah jenis insektisida biologi
(mikroorganisme pengendali serangga) dan jenis fungisida biologi
(mikroorganisme pengendali jamur). Jenis-jenis lain seperti bakterisida,
nematisida dan herbisida biologi. Pestisida alami adalah suatu pestisida yang
bahan dasarnya berasal dari alam seperti tumbuhan. Pestisida alami merupakan
pemecahan jangka pendek untuk mengatasi masalah hama dengan cepat, pestisida
nabati bersifat ramah lingkungan karena bahan ini mudah terdegradasi di alam,
sehingga aman bagi manusia maupun lingkungan.
Berdasarkan asalnya, biopestisida
dapat dibedakan menjadi dua yakni pestisida nabati dan pestisida hayati.
·
Pestisida
nabati merupakan hasil ekstraksi bagian tertentu dari tanaman baik dari daun,
buah, biji atau akar yang senyawa atau metabolit sekunder dan memiliki sifat
racun terhadap hama dan penyakit tertentu. Pestisida nabati pada umumnya
digunakan untuk mengendalikan hama (bersifat insektisidal) maupun penyakit
(bersifat bakterisidal).
·
Pestisida
hayati merupakan formulasi yang mengandung mikroba tertentu baik berupa jamur,
bakteri, maupun virus yang bersifat antagonis terhadap mikroba lainnya (penyebab
penyakit tanaman) atau menghasilkan senyawa tertentu yang bersifat racun baik
bagi serangga ( hama ) maupun nematoda (penyebab penyakit tanaman).
Pestisida dapat digolongkan menjadi
bermacam-macam dengan berdasarkan fungsi dan asalnya. Penggolongan tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Fungisida
Biologi (Biofungisida) berasal dari kata latin fungus atau kata Yunani spongos
yang berarti jamur, berfungsi untuk membunuh jamur atau cendawan.
Beberapa
fungisida yang telah digunakan adalah:
·
Spora Trichoderma
sp. digunakan untuk mengendalikan penyakit akar putih pada tanaman karet
dan layu fusarium pada cabai.
·
Gliocladium spesies G.
roseum dan G. virens. untuk mengendalikan busuk akar pada cabai
akibat serangan jamur Sclerotium Rolfsii.
·
Bacillus
subtilis yang merupakan bakteri saprofit mampu mengendalikan serangan jamur Fusarium
sp. pada tanaman tomat.
2.
Herbisida
Biologi (Bioherbisida)
Termasuk
dalam golongan herbisida ini ialah pengendalian gulma dengan menggunakan
penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri, jamur dan virus. Phytophthora
palmivora yang digunakan untuk mengendalikan Morrenia odorata, gulma
pada tanaman jeruk. Colletotrichum gloeosporioides digunakan pada
tanaman padi dan kedelai.
3.
Insektisida
Biologi (Bioinsektisida)
Berasal dari
mikroba yang digunakan sebagai insektisida. Mikroorganisme yang menyebabkan
penyakit pada serangga tidak dapat menimbulkan gangguan terhadap hewan-hewan
lainnya maupun tumbuhan. Jenis mikroba yang akan digunakan sebagai insektisida
harus mempunyai sifat yang spesifik artinya harus menyerang serangga yang
menjadi sasaran dan tidak pada jenis-jenis lainnya. Mikroba patogen yang telah
sukses dan berpotensi sebagai insektisida biologi salah satunya adalah Bacillus
thuringiensis.
Jenis
insektisida biologi yang lainnya adalah yang berasal dari protozoa, Nosema
locustae, yang telah dikembangkan untuk membasmi belalang dan jangkrik.
Cacing yang pertama kali sebagai insektisida ialah Neoplectana carpocapsae.
Insektisida ini digunakan untuk membunuh semua bentuk rayap.
4.
Nematisida
Biologi (Bionematisida), berasal dari kata latin nematoda atau bahasa Yunani
nema yang berarti benang, berfungsi untuk membunuh nematoda (semacam cacing
yang hidup di akar).
2.3.1 Insektisida
Biologi
Pengendalian hayati merupakan teknik dasar yang
penting dalam konsep pengendalian hama, yakni dengan memanfaatkan musuh alami
serangga hama itu sendiri yang berupa predator, parasit dan patogen. Patogen
serangga adalah mikroorganisme (cendawan, bakteri, virus, protozoa, nematoda
dan mikroba lainnya) yang dapat menyebabkan infeksi dan menimbulkan penyakit
pada serangga hama. Patogen serangga merupakan agensia hayati yang dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif pengendalian hama. Teknik
pengendalian hama ini berpotensi mengurangi ketergantungan pada insektisida
kimia. Secara spesifik mikroorganisme yang dapat menibulkan penyakit pada
serangga disebut “mikroorganisme entomopatogen”.
Insektisida biologi adalah pestisida yang bahan aktifnya
menggunakan mikroorganisme seperti bakteri, protozoa, virus, nematode, maupun
jamur untuk mengatasi masalah hama dan penyakit tanaman yang disebabkan oleh
serangga.
2.3.1.1 Agen
Hayati yang berperan sebagai insektisida biologi
Agen hayati yang paling banyak digunakan sebagai
insektisida biologi adalah dari jenis bakteri, jamur dan virus. Untuk jenis
bakteri dikenal Bacillus thuringiesis, sedangkan untuk jamur yang lazim
adalah Beauveria bassiana dan dari golongan nematoda yakni Heterorhabditis indicus.
1. Bakteri Patogen Serangga (Bacillus thuringiensis)
Salah satu alternatif pengendalian serangga hama yang
aman bagi lingkungan dan makhluk hidup lain adalah pengendalian secara biologis
dengan menggunakan insektisida mikroba. Bakteri Bacillus thuringiensis merupakan salah satu jenis bakteri yang
sering digunakan sebagai insektisida mikroba untuk mengontrol serangga hama
seperti Lepidoptera, Diptera, dan Coleoptera.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bacillus
thuringiensis mampu menghasilkan suatu protein yang bersifat toksik bagi
serangga, terutama seranggga dari ordo Lepidoptera. Protein ini bersifat mudah
larut dan aktif menjadi toksik, terutama setelah masuk ke dalam saluran
pencemaan serangga. Bacillus thuringiensis mudah dikembangbiakkan, dan
dapat dimanfaatkan sebagai biopestisida pembasmi hama tanaman. Pemakaian
biopestisida ini diharapkan dapat mengurangi dampak negatif yang timbul dari
pemakaian pestisida kimia.
Bakteri penyebab penyakit serangga pada umumnya di
bagi ke dalam dua kelompok besar, yakni bakteri yang tidak membentuk spora dan
bakteri yang membentuk spora. Bakteri yang tidak membentuk spora terdapat dalam
saluran pencernaan serangga, merupakan patogen yang potensial menyerang bagian
pencernaan. Tingkat kematian karena bakteri patogen ini rendah. Sedangkan
bakteri pembentuk spora menginveksi larva di dalam mesofagus, kemudian
membentuk spora dan sporanya menyerang bagian tubuh serangga. Tingkat kematian
karena bakteri patogen ini tinggi. Kebanyakan spesies bakteri entomopatogen
yang diisolasi dari serangga yang sakit adalah bakteri yang tidak membentuk
spora, akan tetapi untuk produksi komersial, bakteri yang membentuk spora lebih
mudah untuk diformulasikan dan dapat di simpan lebih lama karena dalam bentuk
spora bakteri tidak membutuhkan makanan.
Bakteri yang paling banyak dimanfaatkan sebagai
insektisida hayati adalah species Bacillus
thuringiensis (Bt). Salah satu keunggulan B. thuringiensis sebagai
agen hayati adalah kemampuan menginfeksi serangga hama yang spesifik artinya bakteri
dapat mematikan serangga tertentu saja sehingga tidak beracun terhadap hama
bukan sasaran atau manusia dan ramah lingkungan karena mudah terurai dan tidak
menimbulkan residu yang mencemari lingkungan.
a. Klasifikasi Bacillus thuringiensis
Kingdom : Eubacteria
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Bacillales
Famili : Bacillaceae
Genus : Bacillus
Spesies : Bacillus thuringiensis
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Bacillales
Famili : Bacillaceae
Genus : Bacillus
Spesies : Bacillus thuringiensis
b. Deskripsi
Bacillus thuringiensis adalah
bakteri tanah gram positif, pembentuk spora, berbentuk batang dengan lebar 1,0
sampai 1,2 µm dan panjang 3,0 sampai 5,0 µm (Sembiring, 2004). Bakteri ini
termasuk patogen fakultatif dan dapat hidup di daun tanaman konifer maupun pada
tanah. Apabila kondisi lingkungan tidak menguntungkan maka bakteri ini akan
membentuk fase sporulasi.
B. thuringiensis dibagi menjadi 67 subspesies (hingga
tahun 1998) berdasarkan serotipe dari flagela (H). Ciri khas dari bakteri ini
yang membedakannya dengan spesies Bacillus lainnya adalah kemampuan
membentuk kristal paraspora yang berdekatan dengan endospora selama fase
sporulasi III dan IV. Sebagian besar ICP disandikan oleh DNA plasmid yang dapat
ditransfer melalui konjugasi antargalur B.
thuringiensis, maupun dengan bakteri lain yang berhubungan. Selama
pertumbuhan vegetatif terjadi, berbagai galur B. thuringiensis
menghasilkan bermacam-macam antibiotik, enzim, metabolit, dan toksin, yang dapat
merugikan organisme lain. Selain endotoksin (ICP), sebagian subspesies B.
thuringiensis dapat membentuk beta-eksotoksi yang toksik terhadap sebagian
besar makhluk hidup, termasuk manusia dan insekta.
Ciri khas yang terdapat pada B. thuringiesis
adalah kemampuannya membentuk kristal (tubuh paraspora) bersamaan dengan
pembentukan spora, yaitu pada waktu sel mengalami sporulasi. Kristal tersebut
merupakan komplek protein yang mengandung toksin ( d – endotoksin ) yang
terbentuk di dalam sel 2-3 jam setelah akhir fase eksponesial dan baru keluar
dari sel pada waktu sel mengalami autolisis setelah sporulasi sempurna.
Sembilan puluh lima persen kristal terdiri dari protein dengan asam amino
terbanyak terdiri dari asam glutamat, asam aspartat dan arginin, sedangkan lima
persen terdiri dari karbohidrat yaitu mannosa dan glukosa.
Gambar 2.2 Terbentuknya Spora dan Kristal saat
sporulasi
Kristal protein merupakan protoksin dalam bentuk
protein murni yang kaya akan asam glutamate dan asam aspartat. Berdasarkan
protoksinnya, Kristal protein memiliki berbagai macam bentuk antara lain
bipiramidal, kuboidal, persegi panjang, dan jajaran genjang. Ada hubungan nyata
antara bentuk kristal dengan kisaran daya bunuhnya. Toksisitas B.
thuringiensis terhadap serangga dipengaruhi oleh strain bakteri dan spesies
serangga yang terinfeksi. Faktor pada bakteri yang mempengaruhi toksisitasnya
adalah struktur kristalnya, yang pada salah satu strain mungkin mempunyai
ikatan yang lebih mudah dipecah oleh enzim yang dihasilkan serangga dan ukuran
molekul protein yang menyusun kristal, serta susunan molekul asam amino dan
kandungan karbohidrat dalam kristal.
Protein atau toksin Cry tersebut akan dilepas
bersamaan dengan spora ketika terjadi
pemecahan dinding sel. Apabila
termakan oleh larva insekta, maka larva akan menjadi inaktif, makan terhenti,
muntah, atau kotorannya menjadi berair. Bagian kepala serangga akan tampak
terlalu besar dibandingkan ukuran tubuhnya. Selanjutnya, larva menjadi lembek
dan mati dalam hitungan hari atau satu minggu. Bakteri tersebut akan
menyebabkan isi tubuh insekta menjadi berwarna hitam kecoklatan, merah, atau
kuning, ketika membusuk.
Toksin Cry sebenarnya merupakan protoksin, yang harus
diaktifkan terlebih dahulu sebelum memberikan efek negatif. Aktivasi toksin Cry
dilakukan oleh protease usus sehingga terbentuk toksin aktif dengan bobot 60
kDA yang disebut delta-endotoksin. Delta-endotoksin ini diketahui terdiri dari
tiga domain. Toksin tersebut tidak larut pada kondisi normal sehingga tidak
membahayakan manusia, hewan tingkat tinggi, dan sebagian insekta. Namun. pada
kondisi pH tinggi (basa) seperti yang ditemui di dalam usus lepidoptera, yaitu
di atas 9.5, toksin tersebut akan aktif. Selanjutnya, toksin Cry akan
menyebabkan lisis (pemecahan) usus lepidoptera. B. thuringiensis
dapat memproduksi dua jenis toksin, yaitu toksin kristal (Crystal, Cry)
dan toksin sitolitik (cytolytic, Cyt). Toksin Cyt dapat memperkuat
toksin Cry sehingga banyak digunakan untuk meningkatkan efektivitas dalam
mengontrol insekta. Lebih dari 50 gen penyandi toksin Cry telah disekuens dan
digunakan sebagai dasar untuk pengelompokkan gen berdasarkan kesamaan sekuens
penyusunnya.
c. Substansi aktif
Istilah substansi aktif yaitu bahan-bahan yang
mempunyai aktivitas tertentu yang dihasilkan oleh makhluk hidup, dan bahan
aktif ini biasanya dapat bersifat positif pada makhluknya sendiri akan tetapi
dapat bersifat negatif atau positif pada makhluk hidup lain.
Substansi aktif yang dihasilkan oleh mikroorganisme
umumnya digolongkan menjadi dua macam, yaitu metabolit primer dan metabolit
sekunder. Substansi aktif primer biasanya bersifat intraseluler atau terdapat
didalam sel. Biasanya metabolit primer dihasilkan dalam jumlah yang relatif
kecil. Substansi sekunder adalah hasil dari metabolisme didalam sel yang
disekresikan keluar dari sel atau dikumpulkan dalam kantong-kantong khusus
diantara sel atau jaringan didalam tubuhnya.
Bacillus thuringiensis membentuk
spora yang membentuk kristal protein-toksin. Kristal tersebut bersifat toksik
terhadap serangga. Penelitian Heimpel (1967) diketahui bahwa B.
thuringiensis menghasilkan beberapa jenis toksin, seperti α(alfa), β(beta),
γ(gamma)-eksotoksin, dan δ(delta)-endotoksin, serta faktor louse. Peneliti lain
menginformasikan bahwa yang berperan penting sebagai insektisida adalah protein
β-eksotoksin dan δ-endotoksin.
Berbagai macam B. thuringiensis diantaranya:
1. Bacillus
thuringiensis varietas tenebrionis menyerang kumbang kentang
colorado dan larva kumbang daun.
2. Bacillus
thuringiensis varietas kurstaki menyerang berbagai jenis
ulat tanaman pertanian.
3. Bacillus
thuringiensis varietas israelensis menyerang nyamuk dan
lalat hitam.
4. Bacillus
thuringiensis varietas aizawai menyerang larva ngengat dan
berbagai ulat, terutama ulat ngengat diamondback.
d.
Insektisida biologi berbahan aktif Bacillus thuringiensis
Bakteri Bacillus thuringiensis merupakan
bakteri yang dapat mengendalikan hama ulat daun, kumbang daun, dan kutu daun
pada tanaman holtikultura. Bakteri B. thuringiensis cukup efektif untuk
mengendalikan berbagai jenis hama dari golongan lepidoptera, coleoptera, dan
hemiptera.
Senyawa toksin penting dalam upaya pengembangan produk
bioinsektisida secara komersial. Karaterisasi kimia β-eksotoksin pertama kali
diaporkan oleh Mc. Connel dan Richard. Peneliti tersebut mengatakan bahwa
β-eksotoksin terdiri dari komposisi senyawa asam nukleat, seperti adenine,
ribose, glucose, dan asam alarik dengan ikatan kelompok fosfat. Selain itu,
β-eksotoksin diketahui bersifat termostabil, artinya bahwa senyawa tersebut
tahan atau tidak rusak jika terkena suhu tinggi, maka digolongkan sebagai thermostabel
eksotoksin, larut didalam air dan sangat beracun terhadap beberapa jenis
ulat. Sementara α-eksotoksin bersifat sebaliknya, tidak stabil jika terkena
panas. Senyawa tersebut diketahui beracun bagi mencit dan ulat (Plutella
xylostella).
Reaksi toksisitas terhadap serangga dari δ-endotoksin
dan strain B. thuringiensis terhadap serangga tampaknya juga sangat
bervariasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Heimpel dan rekannya (1959 dan
1967) terhadap serangga Lepidoptera menunjukkan adanya respon yang berbeda terhadap
δ-endotoksin.
Fenomena lain mekanisme kerja dari toksin bakteri B.
thuringiensis yaitu, terjadinya mekanis intraseluler dari β-eksotoksin,
sebagai substansi protein aktif yang bersifat racun, senyawa ini akan
menghambat sintesa asam ribonukleat, dengan cara menghentikan proses katalisa
polimerasi oleh DNA-dependen RNA-polymersae.
e. Mekanisme
Patogenisitas
Kristal protein yang termakan oleh serangga akan larut
dalam lingkungan basa pada usus serangga. Pada serangga target, protein
tersebut akan teraktifkan oleh enzim pencerna protein serangga. Protein yang
teraktifkan akan menempel pada protein receptor yang berada pada permukaan sel
epitel usus. Penempelan tersebut mengakibatkan terbentuknya pori atau lubang
pada sel sehingga sel mengalami lisis. Pada akhirnya serangga akan mengalami
gangguan pencernaan dan mati.
f. Cara
Isolasi
Isolat Bacillus thuringiensis dapat diisolasi
dari tanah, bagian tumbuhan, kotoran hewan, serangga dan bangkainya dan sumber
lain. Salah satu cara isolasi yang cukup efektif adalah dengan seleksi asetat.
Beberapa gram sumber isolat disuspensikan ke dalam media pertumbuhan bakteri
(misal LB) yang mengandung natrium asetat kemudian dikocok. Media asetat
tersebut menghambat pertumbuhan spora B. thuringiensis menjadi sel vegetatif.
Setelah beberapa jam media tersebut dipanaskan pada suhu 80°C selama beberapa
menit. Pemanasan ini akan membunuh sel-sel bakteri atau mikroorganisme yang
sedang tumbuh termasuk spora-spora bakteri lain yang tumbuh. Kemudian sebagian
kecil dari suspensi yang telah dipanaskan diratakan pada media padat.
Koloni-koloni yang tumbuh kemudian dipindahkan ke media sporulasi B.
thuringiensis. Koloni yang tumbuh pada media ini dicek keberadaan spora
atau protein kristalnya untuk menentukan apakah koloni tersebut termasuk isolat
B. thuringiensis.
g. Penapisan Isolat yang Toksik
Tidak semua isolat Bt beracun terhadap
serangga. Untuk itu perlu dilakukan penapisan daya racun dari isolat-isolat
yang telah diisolasi. Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk hal ini.
Pertama dengan pendekatan molekular dan kedua dengan bioasai.
Pendekatan molekular dilakukan dengan PCR
menggunakan primer-primer yang dapat menggandakan bagian-bagian tertentu dari
gen-gen penyandi protein kristal (gen cry). Hasil PCR ini dapat
dipakai untuk memprediksi potensi racun dari suatu isolat tanpa terlebih dulu
melakukan bioasai terhadap serangga target. Dengan demikian penapisan banyak
isolat untuk kandungan gen-gen cry tertentu dapat dilakukan dengan
cepat.
Untuk menguji lebih lanjut daya beracun dari suatu
isolat maka perlu dilakukan bioasai dengan mengumpankan isolat atau kristal
protein dari isolat tersebut kepada serangga target. Dari bioasai ini dapat
dibandingkan daya racun antar isolat.
h. Cara
Perbanyakan
Perbanyakan bakteri B. thuringiensis dalam
media cair dapat dilakukan dengan cara yang mudah dan sederhana. Karena yang
diperlukan sebagai bioinsektisida adalah protein kristalnya, maka diperlukan
media yang dapat memicu terbentuknya kristal tersebut. Media yang mengandung tryptose
telah diuji cukup efektif untuk memicu sporulasi B. thuringiensis. Dalam
2–5 hari B. thuringiensis akan bersporulasi dalam media ini dengan
pengocokan pada suhu 30°C. Perbanyakan B. thuringiensis ini dapat pula
dilakukan dalam skala yang lebih besar dengan fermentor.
i. Potensi
sebagai Bioinsektisida
Untuk bahan dasar bioinsektisida biasanya digunakan
sel-sel spora atau protein kristal Bt dalam bentuk kering atau padatan.
Padatan ini dapat diperoleh dari hasil fermentasi sel-sel Bt yang telah
disaring atau diendapkan dan dikeringkan. Padatan spora dan protein kristal
yang diperoleh dapat dicampur dengan bahan-bahan pembawa, pengemulsi, perekat,
perata, dan lain-lain dalam formulasi bioinsektisida.
2. Jamur Patogen Serangga (Beauveria
bassiana)
Contoh insektisida biologi dari jamur adalah Beauveria bassiana. Cendawan
ini biasa dikenal sebagai cendawan patogen serangga yaitu cendawan yang dapat
menimbulkan penyakit pada serangga. Beberapa contoh serangga yang dapat
dikendalian oleh Beauveria bassiana antara lain berbagai jenis wereng,
walang, walang sangit, ulat, lembing dan sundep beluk (penggerek batang).
Beauveria bassiana secara alami terdapat didalam tanah
sebagai jamur saprofit. Pertumbuhan jamur di dalam tanah sangat dipengaruhi
oleh kondisi tanah, seperti kandungan bahan organik, suhu, kelembapan,
kebiasaan makan serangga, adanya pestisida sintetis, dan waktu aplikasi. Secara
umum, suhu di atas 30 C, kelembapan tanah yang berkurang dan adanya antifungal
atau pestisida dapat menghambat pertumbuhannya.
Beauveria bassiana termasuk dalam golongan pathogen
serangga ordo Monililes, famili Moniliaceae. Jamur Beauveria bassiana
menyerang banyak jenis serangga, di antaranya kumbang, ngengat, ulat, kepik dan
belalang. Jamur ini umumnya ditemukan pada serangga yang hidup di dalam tanah,
tetapi juga mampu menyerang serangga
pada tanaman atau pohon.
pada tanaman atau pohon.
a. Klasifikasi BVR (Beauveria bassiana)
|
b.
Karakteristik Beauveria bassiana
·
cendawan
berwarna putih, penyebaran spora melalui air atau terbawa angin
·
Menginfeksi
serangga melalui integument/jaringan lunak. Selanjutnya hifa tumbuh dari
konidia dan merusak jaringan
·
Cendawan
tumbuh keluar dari tubuh inang pada saat cendawan siap menghasilkan spora untuk
disebarkan
·
Apabila
keadaan tidak mendukung, perkembangan cendawan hanya berlangsung didalam tubuh
serangga tanpa keluar menembus integument.
·
Tubuh
serangga mati yang terinfeksi Beauveria
bassiana mengeras seperti mumi.
c. Mekanisme
infeksi Beauveria bassiana terhadap
serangga
Cara cendawan Beauvaria bassiana menginfeksi
tubuh serangga dimulai dengan kontak inang, masuk ke dalam tubuh inang,
reproduksi di dalam satu atau lebih jaringan inang, kemudian kontak dan
menginfeksi inang baru. Beauveria bassiana masuk ke tubuh serangga inang
melalui kulit, saluran pencernaan, spirakel dan lubang lainnya. Inokulum jamur
yang menempel pada tubuh serangga inang akan berkecambah dan berkembang
membentuk tabung kecambah, kemudian masuk menembus kulit tubuh. Penembusan
dilakukan secara mekanis dan atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim atau
toksin. Pada proses selanjutnya, jamur akan bereproduksi di dalam tubuh inang.
Jamur akan berkembang dalam tubuh inang dan menyerang seluruh jaringan tubuh,
sehingga serangga mati. Miselia jamur menembus ke luar tubuh inang, tumbuh
menutupi tubuh inang dan memproduksi konidia. Dalam hitungan hari, serangga
akan mati. Serangga yang terserang jamur Beauveria bassiana akan mati
dengan tubuh mengeras seperti mumi dan jamur menutupi tubuh inang dengan warna
putih.
Dalam infeksinya, Beauveria bassiana akan
terlihat keluar dari tubuh serangga terinfeksi mula-mula dari bagian alat
tambahan (apendages) seperti antara segmen-segmen antena, antara segmen kepala
dengan toraks , antara segmen toraks dengan abdomen dan antara segmen abdomen
dengan cauda (ekor). Setelah beberapa hari kemudian seluruh permukaan tubuh
serangga yang terinfeksi akan ditutupi oleh massa jamur yang berwarna
putih.Penetrasi jamur entomopatogen sering terjadi pada membran antara kapsul
kepala dengan toraks atau diantara segmen-segmen apendages demikian pula
miselium jamur keluar pertama kali pada bagian-bagian tersebut.
Penggunaan jamur ini untuk membasmi hama dapat
dilakukan dengan beberapa metode. Jamur ini bisa dipakai untuk jebakan hama.
Adapun cara penggunaanya yaitu dengan memasukkan Beauveria bassiana beserta alat pemikat berupa aroma yang diminati
serangga (feromon) ke dalam botol mineral. Serangga akan masuk ke dalam botol
dan terkena spora. Akhirnya menyebabkan serangga tersebut terinfeksi.
Cara aplikasi lain yaitu dengan metode penyemprotan.
Serangga yang telah terinfeksi Beauveria bassiana, selanjutnya akan mengkontaminasi lingkungan,
baik dengan cara mengeluarkan spora menembus kutikula keluar tubuh inang,
maupun melalui fesesnya yang terkontaminasi. Serangga sehat kemudian akan
terinfeksi.
3. Nematoda
Patogen Serangga (Heterorhabditis
indicus)
Diantara spesies NPS yang diketahui efektif digunakan
sebagai agensia hayati untuk mengendalikan hama tanaman adalah Heterorhabditis indicus. H. Indicus adalah nematoda yang bersimbiosis
mutualisme dengan bakteri gram negatif dari famili Enterobacteriaceae. Kompleks
nematoda-bakteri ini dalam lingkungan yang sesuai dapat menjadi agen pengendali
hayati yang efektif terhadap hama sasaran. Species H. indicus, membawa satu spesies bakteri simbion, Photorhabdus luminescens. Sel-sel
bakteri P. luminescens yang dorman
disimpan dalam saluran pencernaan H.
indicus.
a.
Klasifikasi Heterorhabditis indicus
Klasifikasi Heterorhabditis indicus
menurut Poinar (1990) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Secermentae
Ordo : Rhabditida
Famili : Rhabditidae
Genus : Heterorhabditis
Species : Heterorhabditis indicus
b. Karakteristik Hoterorhabditis indicus
Hoterorhabditis indicus mempunyai bentuk tubuh sebagaimana
cacing, silindris, panjang tubuh betina 479 – 700 μm, tubuh jantan 479-685 μm,
sedangkan tubuh juvenil infektif (JI) 479 - 573 μm. Tubuh simentris bilateral,
tidak bersegmen-segmen, mempunyai kutikula sehingga tubuhnya licin, gerakannya
fleksibel dan tidak ada gerakan kontraktil memanjang. Terdapat alat pencernaan
yaitu mulut, esofagus, intestinum, rektum.
Betina dewasa Heterorhabditis
indicus tubuhnya lebih besar dan lebih panjang daripada jantan, pada
pertengahan tubuhnya terdapat vulva yang berfungsi untuk perkawinan. Pada
bagian kepala terdapat satu mulut dengan enam bibir yang menyerupai gigi dan
terdapat satu papilla. Jantan dewasa Heterorhabditis
indicus tubuhnya lebih kecil dan lebih pendek dari betina, ujung posterior
melengkung dan terdapat sepasang spikula sebagai alat kopulasi. Kepala spikula
pendek, berasal dari penyempitan lamina dan gubernaculum, berukuran setengah
dari panjang spikula.
c. Mekanisme serangan Heterorhabditis indicus
Mekanisme patogenitas NPS terjadi melalui simbiosis
dengan bakteri patogen Photorhabdus
luminescens. Infeksi NPS dilakukan oleh stadium larva instar III atau
juvenil infektif (JI) terjadi melalui mulut, anus, spirakel, atau penetrasi
langsung membran intersegmental integumen yang lunak. Setelah mencapai homocoel
serangga, bakteri simbion yang dibawa akan dilepaskan ke dalam haemolim untuk
berkembang biak dan memproduksi toksin yang mematikan serangga. NPS sendiri
juga mampu menghasilkan toksin yang mematikan. Dua faktor ini yang menyebabkan
NPS mempunyai daya bunuh yang sangat cepat. Serangga yang terinfeksi NPS dapat
mati dalam waktu 24 – 28 jam setelah infeksi.
d. Perilaku (behavior) Heterorhabditis indicus
Heterorhabditis
indicus mempunyai kecendrungan untuk menyebar di seluruh tanah dalam mencari
inang. Strategi menjelajah adalah aktif mencari dan mengejar serangga inang,
strategi ini digunakan untuk menginvasi inang yang diam. Strategi ini
dikarakterisasikan dengan motilitas yang tinggi dan distribusi aktif keseluruh
profil tanah, kemampuan untuk orientasi, isyarat inang yang volatil dan
penggantian lokasi pencarian setelah kontak inang.
Stadia JI menyimpan sejumlah besar cadangan makanan di
dalam tubuhnya untuk melakukan mobilitas dan aktivitas mangsa serta menginfeksi
inang. Selama belum menemukan inang daya tahan tubuhnya sangat bergantung pada
cadangan makanan yang dimilikinya. Penipisan cadangan makanan ini selain
menyebabkan penurunan viabilitas juga menurunkan efektivitas H. indicus .
e. Siklus hidup (life cycle)
Heterorhabditis
indicus memiliki siklus hidup yang sederhana yang terdiri dari 4 stadia juvenil,
dan dewasa. Siklus hidup terbagi kedalam siklus reproduktif dan infektif.
Siklus infektif dimulai saat serangga terinfeksi oleh JI yang masuk melalui
lubang-lubang alami tubuh serangga. Pada siklus reproduktif, JI berubah menjadi
juvenil instar ketiga (J3) yang aktif memakan produk samping hasil metabolisme
bakteri simbion, berganti kutikula menjadi juvenil instar keempat (J4) kemudian
berganti kutikula menjadi dewasa. Telur diproduksi tiga hari setelah invasi
nematoda kedalam tubuh serangga. Telur menetas dan berkembang di dalam tubuh
induknya menjadi juvenil instar pertama (JI) yang akan berganti kutikula
menjadi juvenil instar kedua (J2). Pada stadia J2 nematoda dapat menjalani siklus
reproduktif kembali atau memasuki siklus infektif, tergantung kepadatan
populasi dan nutrisi inang. Jika nutrisi inang mencukupi dan kepadatan populasi
rendah maka J2 berkembang menjadi J3, dan memasuki siklus reproduktif.
Sebaliknya bila kepadatan populasi tinggi dan nutrisi sedikit, J2 berkembang
menjadi J3 khusus yang bersifat infektif (JI), tidak makan dan mampu hidup di
luar tubuh inang serangga.
f. Penyebaran
Pada stadia JI akan aktif meskipun hanya 90 cm ke arah
horizontal dan vertikal dalam kurun waktu 30 hari. Penyebaran secara pasif oleh
air, angin, inang yang terinfeksi, aktifitas manusia, dan lain-lain dapat
menempuh jarak yang luas dan dapat dihitung distribusi penyebarannya. Faktor
yang berpengaruh pada motilitas/kematian JI adalah kelembaban, suhu dan tekstur
tanah. Faktor yang terpenting adalah kelembaban karena nematoda membutuhkan
film air yang menyelubungi area tanah. Di Indonesia H. indicus telah ditemukan
di daerah Jawa, Ambon, Bali dan Seram yang umumnya menyukai habitat pantai.
g. Kelangsungan
hidup
Faktor abiotik dan biotik sangat mempengaruhi efikasi
dan persistensi nematoda entomopatogen untuk mengendalikan serangga hama yang
hidup di lingkungan tanah, habitat tersembunyi dan daun. Persistensi JI yang
digunakan sangat dipengaruhi faktor instrinsik (tingkah laku, fisiologi,
karakteristik genetik) dan ekstrinsik. Faktor ekstrinsik meliputi faktor
abiotik (temperatur, kelembaban tanah, tekanan osmotik, tekstur tanah,
kelembaban, radiasi UV yang ekstrim) dan faktor biotik (antibiosis, kompetisi,
dan musuh alami).
h. Perbanyakan
Nematoda Patogen Serangga (NPS)
- NPS dengan populasi 200 juvenil infektil (JI) dalam 10 ml air disebar merata dengan pipet pada dua lapis kertas koran dalam boks plastik.
- Sebanyak 50 gram ulat hongkong dimasukkan kedalamnya, boks ditutup rapat selama 2 hari (48 jam), boks di bagian atas diberi kain kasa.
- Ulat yang mati terinfeksi akan berubah warna menjadi coklat kemerahan, ulat yang terinfeksi kemudian diambil dan diletakkan diatas kain kasa basah pada cawan petri (dalam boks plastik) yang telah diberi aquades 250 ml.
- Ulang hongkong tersebut diinkubasi selama 14 hari, dan kemudian nematoda siap dipanen.
- Pemanenan dilakukan 2 hari sekali hingga hari ke -21 setelah inokulasi (panen 3-4 kali selama 7 hari)
- Nematoda dicuci dengan cara membuang air permukaan, sedimentasi nematoda sebanyak 1 – 2 kali dengan spoid sehingga terlihat jernih.
- Untuk penyimpanan nematoda dimasukkan ke dalam spon lembab pada suhu 100 C, pada suhu tersebut nematoda dapat hidup dan tetap aktif selama 8 bulan.
- Untuk pemeliharaan Nematoda dapat disimpan dalam toples dengan penambahan air serta dipasang aerator untuk suplai oksigen.
i. Cara dan
waktu aplikasi
- Lahan tanaman yang akan diaplikasikan NPS harus sangat lembab atau macak-macak air.
- Tangki semprot yang akan digunakan tidak boleh bekas pestisida kimia.
- Kebutuhan rata-rata per hektar adalah 2,8 liter larutan NPS.
- Dosis per tangki semprot 14 liter adalah 280 ml larutan NPS.
- NPS yang disimpan dalam spon basah direndam terlebih dahulu dalam air, agar semua NPS keluar dari spon sebaiknya spon diguyur air yang ditampung ke dalam ember.
- Jangan dicampur dengan pestisida kimia
Waktu
aplikasi yang tepat adalah pada sore hari karena NPS sangat rentan terhadap
kekeringan. Waktu satu malam cukup bagi NPS untuk menemukan dan menginfeksi
inang.
2.3.2 Herbisida Biologi
2.3.2.1.
Pengertian
Herbisida Biologi (Bioherbisida)
merupakan pengendalian gulma secara bilogis yaitu suatu cara pengendalian gulma
dengan mempergunakan organisma hidup. Yang
termasuk dalam golongan herbisida ini ialah pengendalian gulma dengan
menggunakan penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri, jamur dan virus.
Bioherbisida yang menggunakan serangga rumit untuk dilakukan, karena dapat
mempengaruhi ekologi lingkungannya. Sehingga dari banyaknya penelitian dipilih
organisme patogen pada tanaman yang digunakan sebagai bioherbisida, karena
memberi peluang yang lebih nyata. Mikroorganisme yang digunakan untuk
mengendalikan hayati gulma justru mikroorganisme yang bersifat patogen pada
tanaman. Alasan penggunaan patogen untuk herbisida, yaitu karena kebanyakan
dari mikroorganisme patogen pada tanaman inang bersifat spesifik. Dan yang
penting dari penggunaan patogen ini relatif tidak menimbulkan pengaruh bagi
manusia atau binatang. Penggunaan mikroorganisme patogen selama ini belum
pernah diketahui mampu memusnahkan gulma dengan baik, namun belum pernah juga
ditemukan berdampak pada musnahnya suatu jenis tanaman.
Mikroorganisme
patogen yang digunakan dalam Herbisida Biologi
1. Jamur
Bioherbisida yang pertama kali
digunakan ialah DeVine, yang dikembangkan
oleh Abbot Laboratories, USA, merupakan jenis mycoherbisida
pertama. Organisme jamurnya adalah Phytophthora
palmivora merupakan parasit fakultatif yang menyebabkan kematian
akar dari tanaman inangnya yaitu Morrenia
odorata, gulma pada tanaman jeruk. P. palmivora mempunyai sporangium
jorong, dan dapat membentuk klamidospora. Jamur ini dapat bertahan
di dalam tanah secara safrofit sehingga dapat berperan lebih lama.
Bioherbisida yang kedua dengan
menggunakan jamur Colletotrichum gloeosporioides yang diperdagangkan
dengan nama Collego dan digunakan pada tanaman padi dan kedelai di Amerika.
2. Rhizobacteria
Bakteri yang mendatangkan dampak
negatif bagi pertumbuhan tanaman, tetapi tidak
memparasit tanaman dianggap sebagai exopatogen dan diberi istilah Deletirous
Rhizobacteria (DRB) . Cara kerja dari DRB terutama melalui toksin yang
dihasilkannya yang diserap oleh perakaran gulma. Tidak perlu memusnahkan gulma, tetapi secara nyata
mampu menekan pertumbuhan awal dari gulma dan membiarkan tanaman budidaya untuk
secara efektif bersaing dengan gulma yang telah dilemahkan tersebut. DRB paling
efektif ketika gulma tumbuh pada saat faktor-faktor lingkungan kondusif bagi pertumbuhan bakteri.
Contoh
pengendalian dengan DRB :
Bakteri penghambat tanaman Pseudomonas fluorescens strain D dapat mengendalikan Bromus tectorum (Downy brome) gulma utama di lahan gandum.
Karakteristik dari Pseudomonas fluorescens yaitu:
a.
Berbentuk
batang lurus atau agak lengkung
b.
Berukuran
(0,5-1,0) x (1,5-5,0)µm
c.
Tidak
spiral, bergerak dengan satu atau beberapa flagellum polar
d.
Bersifat
gram negatif, bakteri hidup secara aerob.
e.
Beberapa
bakteri bersifat kemolitotrof fakultatif, yang menggunakan H2
sebagai sumber energi.
f.
P.
fluorescens mengeluarkan pigmen hijau, merah hijau, merah jambu,
dan kuning terutama pada medium yang kekuranagn unsur besi.
g.
P. fluorescens membentuk pigmen
berpendar yang dikenal dengan nama fluorescein.
h.
Bakteri P.
fluorescens dapat memberikan pengaruh menguntungkan terhadap perkembangan
dan pertumbuhan tanaman, yaitu sebagai “ Plant Growth Promoting
Rhizobacteria” (PGPR).
Menurut Goto (1992), pengklasifikasian Pseudomonas
fluorescens adalah:
Kingdom
: Prokariota
Divisi
:
Gracilutes
Kelas
: Proteobacteria
Ordo
: Pseudomonadales
Family : Pseudomonadaceae
Genus
:
Pseudomonas
Spesies
: Pseudomonas
fluorescens
3. Bakteri
Patogen Tanaman
Bakteri
patogen tanaman ( Phytopathogenic
bacteria ) telah menunjukkan potensinya
yang besar sebagai agen pengendali hayati karena dapat diaplikasikan
secara langsung ke daun gulma. Bakteri bioherbisida mirip dengan
cendawan mycoherbisida. Contohnya
: Bakteri Pseudomonas syringae
pv. tagetis (Pst) yang menyebabkan klorosis pada beberapa spesies gulma seperti Ambrosia artemisiifolia (common ragweed),
Helianthus tuberosus
(Jerusalem artichoke), Cirsium
avense (Canada thistle), dan Tagetes
erecta L. (marigold). PSt menyebabkan
penurunan vigor gulma, penghambatan pembungaan, dan mortalitas tanaman.
2.3.3
Fungisida Biologi
Suwahyono (2010:10) mengemukakan
pendapatnya tentang definisi pestisida biologi bahwa fungisida biologi adalah
semua jenis organisme hidup yang dapat digunakan untuk mengendalikan jamur yang
berperan sebagai hama atau penyebab penyakit pada tanaman, hewan, dan manusia.
Dari pengalaman di lapangan, penyakit yang dominan pada tanaman budidaya
disebabkan oleh jamur. Penyakit ini dapat menyebabkan busuk pada akar atau
pangkal batang tanaman.
Berdasarkan pendapat dari Yulianti
(2008) fungisida biologi (biofungisida) merupakan alternatif yang digunakan
untuk penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur. Biofungisida yang telah
digunakan adalah spora Trichoroderma sp. yang digunakan
sebagai pengendali penyakit akar putih pada tanaman karet dan penyakit
layu fusarium pada cabai.
Sejumlah mikroorganisme (terutama
jamur dan bakteri) diketahui merupakan antagonis terhadap jamur penyebab
penyakit tanaman (fitopatogenik). Mekanisme tentang bagaimana mikroorganisme
antagonis ini mengendalikan jamur fitopatogenik, tidak selalu jelas, tetapi
umumnya merupakan salah satu atau gabungan beberapa cara sebagai berikut
(Agrios, 2005; Loekas Soesanto, 2008).
1. Kompetisi. Beberapa
mikroorganisme bersaing dengan jamur fitopatogen dalam memperoleh unsur hara
dan ruang bagi kehidupannya. Contohnya, Pseudomonas putida bersaing dengan
Pythium ultimum (penyebab penyakit rebah semai pada kapri dan kedelai) dan
Fusarium oxysporum (penyebab penyakit layu fusarium);
2. Parasitisme. Beberapa mikroorganisme lainnya
bersifat parasit (disebut hiper-parasit) dari jamur penyebab penyakit tanaman.
Contohnya, Serratia marcescens adalah hiper-parasit bagi Fusarium oxysporum
(penyebab penyakit layu fusarium).
3. Antibiosis. Ada pula mikroorganisme yang
menghasilkan senyawa kimia tertentu (toksin atau antibiotik) yang beracun bagi
jamur penyebab penyakit tanaman. Contohnya, jamur Pseudomonas fluorescens
menghasilkan antibiotika yang mampu menghambat Thielaviopsis basicola (penyebab
penyakit busuk akar hitam pada tanaman tembakau).
4. Menghasilkan
enzym yang menghancurkan sel-sel jamur patogen, atau
5. Menghasilkan
metabolit lain yang merugikan jamur patogen.
6.
Menginduksi
pertahanan tanaman inang (induced host
resistance). Akhirnya ada juga mikroorganisme yang merangsang tanaman dimana
mereka hidup untuk mengaktifkan mekanisme pertahanan terhadap keberadaan jamur
patogen, misalnya merangsang tanaman untuk menghasilkan fitoaleksin, sistim SAR
(systemic acquired resistance = ISR,
induced systemic resistance), dan sebagainya.
Fungisida
Biologi: Jamur
Hingga kini,
telah dilaporkan 54 genus jamur, meliputi ratusan spesies yang mempunyai
potensi sebagai antagonis bagi jamur penyebab penyakit tumbuhan. Genus-genus
tersebut antara lain (Habazar dan Yaherwandi, 2006): Acaulospora, Ampelomyces,
Ascocoryne, Aspergillus, Aureobasidium, Candelabrella, Candida, Catenaria,
Chaetomium, Cicinobolus, Cladosporium, Coniothyrium, Cryptococcus,
Cryphonectria (dahulu Endothia), Dactylaria, Dactylela, Fusarium, Genicularia,
Gliocladium, Glomus, Hansfordia, Heteroconium, Laccaria, Laetisaria (dahulu
Corticium), Leucopaxillus, Myrothecium, Microsphaeropsis, Nematophthora,
Oidendron, Penicillium, Piniophora, Phialocephala, Phialophora, Pichia,
Pisolithus, Pleospora, Pythium, Rhizoctonia, Rhodotorulla, Rosellinia,
Saccharomyces, Sclerotinia, Scytalidium, Spherellopsis, Sporidesmium,
Trichoderma (dahulu Gliocladium), Trichotecium, Tuberculina, Typhula,
Ulocladium, dan Verticillium.
Dari sekian puluh genus jemur antagonis, yang sering disebut dan relatif banyak diteliti adalah (Agrios, 2005):
· Jamur dari
genus Trichoderma, terutama Trichoderma harzianum merupakan parasit bagi
Rhizoctonia dan Sclerotium, dan menghambat pertumbuhan Pythium, Phytophthora,
Fusarium dan Heterobasidion (Fomes).
· Laetisaria
arvalis (Corticium sp.) merupakan
mikoparasit serta antagonis bagi Rhizoctonia dan Pythium;
· Sporidesmium
sclerotivorum, Gliocladium virens serta Coniothyrium minitans merupakan parasit
serta antagonis bagi Sclerotinia sclerotiorum;
· Talaromyces
flavus adalah parasit bagi Verticillium.
· Beberapa
spesies Pythium yang non-patogenik juga diketahui merupakan parasit bagi
Phytophthora dan spesies Pythium lainnya.
· Jamur
Verticillium lecanii diketahui merupakan parasit bagi nematoda patogen
Heterodera glycines.
· Jamur
Dactylella, Arthrobotrys, Paecilomyces dan Xyphenema merupakan parasit bagi
nematoda Meloidogyne sp.
· Jamur Catenaria auxiliaris, Nematophthora
gynophila, Verticillium chlamydosporium
dan Hirsutella sp., diketahui
merupakan parasit bagi nematoda Heterodera dan Globodera.
· Beberapa
jenis ragi, seperti Pichia gulliermondii juga merupakan parasit dan
menghambat pertumbuhan beberapa jamur patogen seperti Botrytis dan Penicillium.
Di bawah ini beberapa jenis jamur berguna yang telah
berhasil diformulasi secara komersial:
1.
Ampelomyces
quisqualis Ces (Deuteromycetes)
Jamur yang
dahulu bernama Cicinnobolium quisqualis
ini terdapat luas di alam. Isolat 10 ditemukan di kebun anggur di Israel dan
diproduksi secara komersial sebagai fungisida biologi setelah diketahui bahwa
jamur ini dapat tumbuh dan menghasilkan spora pada kondisi tertentu.
Jamur hiperparasit ini digunakan untuk mengendalikan semua jenis jamur penyebab
penyakit embun tepung (powdery mildew)
dari familia Erysiphaceae, meskipun pada tanaman yang berbeda penyebab embun
tepungnya juga berbeda.
Spora A.
quisqualis yang berkecambah akan memasuki hifa jamur embun tepung sebagai
parasit, dan akhirnya perkembangan embun tepung akan terhenti. Untuk dapat
berkecambah, spora A. quisqualis memerlukan kelembaban minimal 60%, dan
proses masuknya kedalam hifa patogen memakan waktu 2 – 4 jam. Diaplikasikan
dengan cara disemprotkan. Karena perkecambahan spora A. quisqualis memerlukan
kelembaban cukup tinggi, dianjurkan untuk melakukan penyemprotan pada pagi hari
sewaktu embun masih ada, atau pada sore hari. Pengendalian akan berhasil baik
bila tingkat serangan dibawah 3%. Juga diaplikasikan secara protektif sebelum
ada serangan penyakit.
2.
Candida
oleophila Montrocher (Ascomycota)
Jamur Candida oleophila merupakan kapang yang
terdapat luas di alam. Isolat I-82 telah diproduksi secara komersial oleh
Novartis (sekarang Syngenta), dan diaplikasikan sebagai fungisida dengan cara
semprotan atau pencelupan buah-buahan yang akan disimpan, untuk menghindari
penyakit-penyakit pasca panen, pada apel, jeruk dan lain-lain.
3.
Candida
saitoana Nakase & Suzuki
Fungisida
jamur ini juga digunakan untuk melindungi buah-buahan sesudah panen agar tidak
diserang jamur patogen.
4.
Clonostachys
rosea f. catenulate (Gilman & Abott) Schroer
Jamur ini
dahulu dinamai Gliocladium catenulatum.
Isolat J1446 diisolasi dari tanah di Finlandia, dan dikembangkan sebagai
fungisida biologi bersama oleh Agriculture Research Centre (Finlandia) dan
perusahaan Kemira Agro.
Mikrobial
fungisida ini diaplikasikan secara preventif untuk mengendalikan jamur patogen
seperti Pythium spp., Rhizoctonia spp., dan Phytophthora dengan aplikasi
di tanah, maupun jamur-jamur Botrytis spp., Didymella spp., dan Helminthosporium spp., dengan cara penyemprotan baik di daun maupun hasil panen.
di tanah, maupun jamur-jamur Botrytis spp., Didymella spp., dan Helminthosporium spp., dengan cara penyemprotan baik di daun maupun hasil panen.
5.
Coniothyrium
minitans Campbell
Fungisida mikrobiologi Coniothyrium
minitans isolat CON/M/91-08 mula-mula
diisolasi tahun 1992 oleh perusahaan Jerman Prophyta, diformulasi tahun 1995
(konidia diformulasi dalam bentuk WDG), dan diregistrasi oleh Federal
Biological Research Centre for Agriculture and Forestry pada 22 Des. 1997, dan dipasarkan
tahun 1998. Sekarang telah diregistrasi di Eropa dan Amerika Utara.
Digunakan untuk mengendalikan jamur patogen dari genus Sclerotinia,
terutama Sclerotinia sclerotiorum dan S. minor. Yang dikendalikan oleh C. minitans adalah struktur fase istirahat (sklerotia) dari organisme
target yang berada di tanah. C. minitans
adalah jamur yang lambat sekali berkembangnya, dan sangat tergantung pada efek
mikoparasitnya pada sklerotia jamur sasaran. Produk mengandung C. minitans diaplikasikan dengan cara dibenamkan
kedalam tanah 2 atau 3 bulan sebelum tanam, atau 2 – 3 bulan sebelum infeksi
penyakit diperkirakan datang.
6.
Cryphonectria parasitica (Murril)
Barr (Ascomycota)
Jamur yang dulu dinamakan Diaporthe
parasitica, Valsonectria parasitica,
atau Endothia parasitica ini diketahui sebagai penyebab penyakit chesnut blight pada tanaman chesnut.
Yang dimanfaatkan sebagai fungisida mokrobiologi adalah isolat non-patogenik
(isolat yang tidak menyebabkan penyakit, isolat non-virulen), yang diisolasi
dari pohon chesnut di Prancis. Digunakan untuk mengendalikan chesnut blight (Cryphonectria parasitica).
Cara kerjanya, isolat non-patogenik (isolat yang non-virulen) ini akan
menempati lokasi dimana isolat virulen menimbulkan penyakit, sehingga
isolat yang virulen tidak menyerang tanaman. Banyak isolat yang non-virulen
dari jamur ini membawa mikovirus (virus yang menyerang jamur, VLP) dan virus
ini di alam dapat mentransfer sifat-sifat jamur yang non-virulen ke isolat yang
virulen, sehingga isolat yang semula virulen ini menjadi tidak virulen.
Aplikasi dilakukan dengan memperlakukan luka atau bekas pangkasan dengan
produk yang mengandung isolat non-patogenik dari C. parasitica secepat mungkin, sehingga isolat non-patogenik ini
sempat berkembang.
7.
Cryptococcus albidus (Saito) Skinner
Jamur ini digunakan sebagai fungisida untuk mengendalikan penyakit busuk
oleh jamur Penicillium dan Botrytis
spp. pada penyimpanan buah-buahan (apel, pir). Diaplikasikan dengan cara
menyemprot buah, atau merendamnya dengan produk yang mengandung C. albidus segera sesudah panen. Sesudah
disemprot atau direndam, buah-buah tersubut harus dibiarkan kering sebelum
disimpan.
Mula-mula jamur ini akan berkompetisi dengan patogen penyebab penyakit
dalam hal ruang dan makanan. Selanjutnya C. albidus
menghasilkan dua macam protein yang menghancurkan dinding sel jamur patogen,
dan menghentikan pertumbuhannya. Jangan dicampur dengan fungisida berspektrum
luas lainnya, dan jangan menggunakan air yang mengandung klorin untuk
mengencerkannya.
8.
Fusarium oxysporum Schlechtendal
Seperti
diketahui bahwa jamur Fusarium oxysporum adalah penyebab penyakit layu
fusarium pada beberapa jenis tanaman. Namun isolat Fo 47 merupakan isolat yang
non-patogenik (tidak menyebabkan penyakit) dan berkompetisi dengan isolat
patogenik (isolat yang menyebabkan penyakit). Isolat Fo 47 adalah mutant alami
dari jamur F. oxysporum, ditemukan
pada tanah Chataeaurenard di Prancis tenggara oleh peneliti dari INRA, dan
kemudian sebagai fungisida mikrobiologi diproduksi secara komersial. F. oxysporum isolat Fo 47 tidak dapat
bersilang dengan isolat yang patogenik.
F. oxysporum isolat Fo 47 digunakan secara
protektif untuk mencegah penyakit layu fusarium yang disebabkan oleh isolat
patogenik Fusarium oxysporum dan Fusarium moniliforme (Gibberella fujikuroi), dengan tiga cara kerja. Pertama, dengan kompetisi pada
sistim perakaran tanaman. Isolat Fo 47 adalah penyerang yang kuat dan sangat
kompetitif dalam hal nutrisi dengan mikroorganisme lain. Kedua, kompetisi di
permukaan sistem perakaran. Mereka bersaing dalam memperoleh akses untuk masuk
ke lokasi dimana jamur menginfeksi akar tanaman. Ketiga, F. oxysporum isolat Fo 47 mengaktifkan
sistem kekebalan tanaman yang merangsang tanaman untuk memproduksi fitoaleksin
(zat alami yang diproduksi oleh tumbuhan untuk melawan patogen) yang menghambat
enzim pencernaan jamur patogen dan mendetoksifikasi asam fusarik yang
dihasilkan oleh jamur patogen.
9.
Phlebiopsis gigantea (Fr) Massee
Jamur ini
pernah dikenal dengan nama lamanya Phlebia
gigantea atau Peniophora gigantea.
Mula-mula diisolasi pada tahun 1987 oleh Finnish Forest Research Institute dari
log pohon spruce yang tertinggal di hutan. Digunakan untuk memperlakukan stum
pinus dan spruce pada tahun 1988, dan diproduksi secara komersial pada tahun
1991.
Dikembangkan sebagai fungisida
biologi untuk mengendalikan penyakit busuk akar yang disebabkan oleh Heterobasidion annosum (syn. Fomes annosum).
10.
Pseudozyma flocculosa (Traquair et al.)
Boekhout & Traquair
Jamur yang dahulu dikenal sebagai Sporothrix
flocculosa atau Stephanoascus flocculosus
ini dikenal sebagai fungi saprofit dan juga sebagai hiperparasit bagi jamur
penyebab embun tepung di Kanada, Amerika Serikat dan Eropa. Salah satu isolat
yang diproduksi secara komersial diisolasi dari daun red clover (Trifolium pratense) yang ditutupi oleh cendawan embun tepung Erysiphe polygoni. Bahan aktif dari produk adalah spora yang diformulasi
dalam bentuk WP.
P. flocculosa digunakan sebagai
fungisida mikrobiologi untuk mengendalikan embun tepung Sphaerotheca fuliginea
yang sering terdapat pada tanaman Cucurbitaceae, dan pada mawar. Agar efektif,
saat aplikasi diperlukan kelembaban yang tinggi, minimal 60%. Oleh karena itu
disarankan untuk diaplikasikan pagi hari saat embun masih ada atau petang
hari.
11.
Pythium oligandrum Dreschler
Digunakan
sebagai fungisida untuk mengendalikan berbagai penyakit tular tanah pada
tanaman sayuran, serealia dan pepohonan, baik di rumah kaca maupun di kebun.
Diaplikasikan sebagi semprotan langsung di tanah, atau untuk perlakuan benih.
Selanjutnya jamur akan berkembang cepat di zona perakaran (rhizosfer) dan
mencegah tumbuhnya penyakit jamur tular tanah lainnya. P. oligandrum juga merangsang pertumbuhan tanaman, sehingga tidak
mudah diserang penyakit.
12.
Talaromyces flavus (Klocker) Stolk &
Samson
Isolat V117b
dari Talaromyces flavus diisolasi oleh Prophyta, dan askosporanya diformulasi dalam
bentuk WDG. Fungisida biologi ini ditargetkan untuk mengendalikan jamur patogen
tular-tanah seperti Verticillium dahliae, V. albo-atrum serta
Rhizoctonia solani pada tomat, mentimun, strawberry dan lainnya.
T. flavus bekerja sebagai pesaing nutrisi
dari jamur patogen pada rhizosfer dan tanah, karena jamur ini mengkolonisasi
daerah perakaran dengan cepat. Ada dugaan bahwa jamur ini juga mengaktifkan
sistim kekebalan tanaman terhadap jamur patogen, dengan merangsang tanaman
menghasilkan fitoeleksin yang menghambat invasi jamur penyebab penyakit.
Produk
mengendung T. flavus diaplikasikan
pada tanah, sebagai seed treatment atau dengan mencelupkan (dipping) akar bibit
yang akan ditanam.
13.
Trichoderma harzianum Tul
Trichoderma harzianum terdapat secara alami sebagai
salah satu komponen dari mikroflora tanah, sering terdapat pada daerah
perakaran (rhizosfer) akar tanaman yang sedang tumbuh. Ada beberapa isolat
jamur Trichoderma harzianum (dahulu dinamai Trichoderma lignorum) yang telah diproduksi secara komersial sebagai fungisida
mikrobiologi.
· Trichoderma harzianum isolat T-22 (Rifai isolat KRL-AG2)
Isolat T-22 merupakan hasil fusi protoplasma T. harzianum isolat T-95 dan T. harzianum isolat T-12. Sebagai fungisida biologi, isolat T-22 adalah isolat yang paling efektif dan paling kompetitif, untuk mengendalikan jamur patogen (baik patogen tular-tanah maupun patogen pada daun) seperti Pythium, Rhizoctonia, Fusarium, Thielaviopsis, Cylindrocladium, Myrothecium, Botrytis dan Sclerotinia, pada tanaman sayuran, tanaman hias, kedelai dan jagung.
Isolat T-22 merupakan hasil fusi protoplasma T. harzianum isolat T-95 dan T. harzianum isolat T-12. Sebagai fungisida biologi, isolat T-22 adalah isolat yang paling efektif dan paling kompetitif, untuk mengendalikan jamur patogen (baik patogen tular-tanah maupun patogen pada daun) seperti Pythium, Rhizoctonia, Fusarium, Thielaviopsis, Cylindrocladium, Myrothecium, Botrytis dan Sclerotinia, pada tanaman sayuran, tanaman hias, kedelai dan jagung.
Efikasi T. harzianum isolat T-22 terhadap jamur patogen disebabkan oleh
beberapa cara. Pertama, T. harzianum
T-22 dikenal sebagai mikoparasit yang menginvasi jamur patogen dan memparasit
benang-benang jamur (hifa) patogen. Jamur ini secara persisten berada di zona
perakaran tanaman, tetapi tidak dapat hidup tanpa adanya akar yang sedang
tumbuh. T. harzianum T-22 bersaing
dengan jamur patogen dalam hal nutrisi di zona akar tanaman. T. harzianum T-22 mempunyai efek pada
perkembangan akar tanaman dan membantu melarutkan berbagai hara tanah, sehingga
akar tanaman lebih kuat, hara yang tersedia bagi tanaman lebih banyak, yang
menyebabkan tanaman lebih dapat bertahan terhadap serangan penyakit. Terakhir,
T. harzianum T-22 mengaktifkan
kekebalan sistemik dapatan (SAR: systemic
acquired resistance), yang akan melindungi tanaman dari penyakit.
· Trichoderma
harzianum isolat TH-35 dan TH-315
Isolat-isolat ini mula-mula
diintroduksikan untuk mengaplikasi pembibitan pada tahun 1997. Fungisida
mikroba ini diaplikasikan dengan menambahkannya pada tanah pesemaian atau di
lapangan, untuk mengendalikan Pythium
spp, Fusarium spp, Rhozoctonia solani dan Sclerotium rolfsii, pada berbagai tanaman termasuk
sayuran, tanaman hias, serta tanaman lainnya.
T. harzianum isolat TH-35 dan TH-315
berkembang pada rhizofer tanaman dan bersaing dengan jamur parasit dalam hal
nutrisi, membantu akar tanaman menyerap nutrisi lebih baik, dan bekerja sebagai
antagonis bagi jamur patogen dengan menyelubungi hifa jamur parasit dan
mencerna isinya.
· Trichoderma
harzianum isolat T-39
Trichoderman
harzianum isolat T-39 direkomendasikan untuk mengendalikan jamur patogen tanah
Botrytis dan Sclerotinia. Fungisida biologi ini efektif untuk mengendalikan Botrytis cinerea pada tanaman muda
dengan cara semprotan, dan juga digunakan kapang putih Sclerotinia sclerotiorum, Cladosporium
fulvum, dan penyakit-penyakit embun tepung. Direkomendasikan untuk
digunakan pada tanaman anggur, sayuran, tanaman pertanian lainnya, baik di
rumah kaca maupun pada lahan terbuka. T. harzianum
merangsang sistem kekebalan tanaman (baik lokal maupun sistemik), menekan daya
racun enzim yang dihasilkan oleh cendawan pathogen dan berkompetisi dengan
jamur patogen dalam hal ruang dan nutrisi. Diaplikasikan pada tanah atau
disemprotkan ke seluruh bagian tanaman yang dilindungi.
14. Trichoderma stromaticum Samuel & Pardo-Schultheiss
Jamur Trichoderma stromaticum merupakan parasit pada miselium jamur Crinipellis perniciosa, penyebab penyakit sapu setan (witches’ broom) pada
tanaman kokoa. T. stromaticum
mengendalikan C. perniciosa dengan
beberapa cara, termasuk mikoparasitisme (parasit jamur), dan produksi enzym
yang toksik bagi C. perniciosa.
Dilaporkan juga bahwa T. stromaticum
dapat mengaktifkan sistim kekebalan sistemik dapatan (SAR: systemik acquired resistance) tanaman, sehingga lebih
tahan terhadap serangan C. perniciosa.
Fungisida
mikrobiologi ini diaplikasikan dengan disemprotkan (volume tinggi) untuk
mengendalikan penyakit pada kanopi daun (efikasi sekitar 56%), dan dicampurkan
pada tanah dan serasah disekitar pohon kokoa untuk mengendalikan penyakit pada
serasah daun (efikasi hingga 99%).
15.
Trichoderma
virens (Miller, Giden & Foster) von Arx
Jamur tanah
yang dahulu dikenal sebagai Gliocladium
virens ini terdapat secara alami. Trichoderma virens isolat GL-21 ditemukan dan diisolasi oleh Departemen
Pertanian Amerika Serikat (USDA), dan dipasarkan oleh Certis. Fungisida biologi
ini digunakan untuk mengendalikan penyakit rebah kecambah (damping off) tular tanah
dan penyakit-penyakit akar, seperti Pythium, Fusarium, Thielaviopsis,
Sclerotinia dan Sclerotium spp. pada
tanaman tanaman hias dan tanaman pertanian lainnya, baik di pesemaian, rumah
kaca ataupun di lapangan.
Trichoderma virens
mengendalikan jamur patogen dengan tiga cara berbeda. Pertama, T. virens menghasilkan antibiotika,
gliotoksin, yang membunuh jamur patogen; kedua, T. virens adalah parasit bagi jamur patogen; dan yang ketiga T. virens bersaing dengan jamur patogen
dalam mendapatkan nutrisi. T. virens
diaplikasikan dengan mencampurkannya dengan tanah sebelum tanam.
Fungisida
Biologi: Bakteri
Telah
dilaporkan sekitar 16 genus bakteri mempunyai potensi sebagai antagonis bagi
penyebab penyakit tumbuhan, yakni (Habazar dan Yaherwandi, 2006):
Agrobacterium, Bacillus, Bdellovibrio, Burkholderia, Enterobacter, erwinia,
Herbaspirillum, Klebseilla, Cryptococcus, Curtobacterium, Paenibacillus,
Pantoea, Pasteuria, Pseudomonas, Streptomyces dan Serratia.
Dari antara
genus-genus bakteri tersebut, yang terkenal diantaranya adalah (Agrios, 2005;
Copping, 2004):
§ Agrobacterium radiobacter
§ Bacillus pumilus, Bacillus subtilis, dan Bacillus subtilis var.
amyloliquefaciens
§ Brevibacillus brevis
§ Burkhoderia cepacia (fungisida dan nematisida)
§ Enterobacter
§ Pantoea agglomerans
§ Pseudomonas aureofaciens, Pseudomonas chlororaphis, Pseudomonas fluorescens (fungisida dan bakterisida), Pseudomonas syringae, dan Pseudomonas tolassii (bakterisida),
§ Streptomyces griseoviridis, dan Streptomyces licidus
§ Burkhoderia cepacia (fungisida dan nematisida)
§ Enterobacter
§ Pantoea agglomerans
§ Pseudomonas aureofaciens, Pseudomonas chlororaphis, Pseudomonas fluorescens (fungisida dan bakterisida), Pseudomonas syringae, dan Pseudomonas tolassii (bakterisida),
§ Streptomyces griseoviridis, dan Streptomyces licidus
Di bawah ini diuraikan secara
singkat beberapa di antara fungisida bakteri yang telah berhasil diformulasi
dan diproduksi secara komersial.
1. Bacillus pumilus Meyer and Gottheil
Bakteri yang
dimanfaatkan sebagai fungisida mikrobiologi ini dapat dijumpai di tanah dalam
berbagai habitat di seluruh dunia. Yang telah diproduksi secara komersial
adalah B. pumilus isolat QST2808
karena efikasinya terhadap berbagai jamur patogen yang penting secara
ekonomi.
Bakteri ini
digunakan untuk mengendalikan berbagai macam penyakit, termasuk embun tepung (powdery mildew), embun bulu (downy
mildew), dan penyakit karat (rust) pada tanaman serealia,
buah-buahan, sayuran dan anggur. Bakteri ini menghambat pertumbuhan jamur di
permukaan daun, dan dapat mengaktifkan sistem kekebalan tanaman. B. pumillus memiliki kemampuan preventif
dan kuratif. B. pumillus umumnya
dapat digunakan sebagai campuran dengan banyak jenis fungisida, insektisida,
pupuk daun dan bahan perata. Jangan digunakan bersama bahan kimia yang bersifat
pengoksidasi, asam, basa serta air yang mengandung klorin.
2. Bacillus subtilis (Ehrenbeg) Cohn
Bacillus subtilis
ini terdapat secara alami. Ada beberapa isolat yang telah diproduksi secara
komersial sebagai fungisida mikrobiologi karena isolat-isolat ini paling
efektif untuk mengendalikan berbagai penyakit karena jamur dan juga bakteri.
- Bacillus subtilis isolat GB03
Fungisida, diintroduksikan sebagai seed treatment oleh Christian Hansen
Biosystem pada tahun 1994. Diaplikasikan dengan cara perawatan benih (seed treatment) atau pengocoran (drenching) pada pesemaian dan saat
pindah tanam. Begitu diaplikasikan B. subtilis
akan berkembang dan membentuk koloni di daerah perakaran tanaman yang
diperlakukan, dan berkompetisi dengan jamur patogen yang menyerang akar.
Diaplikasikan untuk mencegah atau mengendalikan penyakit pesemaian dan tanaman
muda, seperti Fusarium spp., Pythium spp, dan Rhizoctonia spp., pada tanaman kedelai, kacang tanah, gandum,
tanaman leguminosa, dan kapas.
- Bacillus subtilis isolat MBI 600
Fungisida, efektif diaplikasikan
sebagai seed treatment untuk
mengendalikan jamur patogen tular tanah seperti Fusarium, Aspergillus, Pythium
dan Rhizoctonia, dan disemprotkan untuk mengendalikan penyakit pada daun oleh
Botrytis dan embun tepung, pada tanaman kedelai, kapri, kacang tanah,
kacang-kacangan lainnya, kapas, gandum dan jagung.
- Bacillus subtilis isolat QST 713
Fungisida dan bakterisida
diaplikasikan dengan cara penyemprotan untuk mengendalikan penyakit-penyakit
yang disebabkan oleh jamur dan bakteri patogen, seperti Botrytis cinerea, Uncinula necator, Podosphaerea leucotricha, Erysiphe spp., Sphaeroteca
spp., Leveillula taurica, Oidium spp., Peronospora spp., Botryosphaeria dothidea, Phtophthora infestans, Xanthomonas
spp., Sclerotinia minor dan Plasmopara viticola, pada
tanaman-tanaman anggur, Cucurbitaceae, Cruciferae, brokoli, cabai, tomat,
kentang, wortel, sayuran lainnya dan tanaman hias.
3. Bacillus subtilis (Ehrenberg) Con.) var. amyloliquefaciens
Juga merupakan bakteri yang terdapat
secara alami di tanah dan sampah dedaunan, dan dimanfaatkan sebagai fungisida.
FZB Biotechnik telah memproduksi secara komersial isolat FZB24 dari tiga isolat
(FZB13, FZB24 dan FZB42) yang mereka isolasi. Isolat FZB24 efektif untuk
mengendalikan jamur patogen tular tanah seperti Rhizoctonia dan Fusarium pada
tanaman dalam rumah kaca atau tanaman outdoor di tempat yang teduh, dengan cara
seed treatment. Disarankan untuk mencampur terlebih dahulu produk
mengandung B. subtilis var.
amyloliquefaciens dengan air hangat untuk mengaktifkan bakteri sebelum
dilarutkan lebih lanjut. Diaplikasikan dengan cara pengocoran (drenching) pada tanah segera setelah
bibit ditanam, atau dengan mencelupkan bibit atau stek ke dalam larutan berisi
B. subtilis var. amyloliquefaciens
sebelum ditanam. Jangan dicampur dengan bahan kimia yang bersifat pengoksidasi,
asam, basa, dan air yang mengandung klorin. Jangan digunakan bersama fungisida
berbahan aktif tembaga dan bakterisida semacam streptomisin.
4.
Brevibacillus
brevis
Dahulu dikenal sebagai Bacillus brevis, merupakan fungisida mikrobiologi untuk mengendalikan Botrytis cinerea, Pythium spp. dan
Sphaeroteca fuliginea, dan penyakit tular tanah dan penyakit-penyakit pangkal
batang serta daun lainnya, pada tanaman serealia dan kentang. Brevibacilus brevis mengendalikan jamur patogen dengan dua cara yang berbeda.
Pertama, B. brevis menghasilkan
metabolit, semacam antibiotika anti-fungal yakni gramisidin S, yang merusak
membran sitoplasma, terutama pada spora yang sedang berkecambah dan germ-tube
jamur. Jangan dicampur dengan pestisida kimiawi lain.
5.
Burkholderia cepacia (Palleroni &
Holmes) Yabuuchi
Bakteri yang dimanfaatkan sebagai
fungisida dan nematisida ini dahulu disebut Pseudomonas
cepacia, merupakan jamur yang umum
terdapat pada rizhofer (daerah perakaran) tumbuhan. Isolat J82 (Wisconsin)
dipilih karena mudah di produksi secara komersial dan efektif untuk
mengendalikan penyakit tular tanah dan nematoda. B. cepacia sangat agresif mengkolonisasi daerah perakaran tanaman, dan
merupakan antagonist bagi jamur dan nematoda patogen. Diaplikasikan dengan cara
perlakuan benih (seed treatment) dan
pencelupan biibit (dipping)
6.
Pantoea agglomerans (Ewing & Five)
Gavini et al
Dahulu bakteri ini dikenal dengan
nama Enterobacter agglomerans. Bakteri ini terdapat secara
alami di tanah. Isolat C9-1 dipilih untuk diproduksi sebagai fungisida secara
komersial, dan digunakan untuk mengendalikan penyakit fire blight (Erwinia amylovora) pada apel dan pir, dan diaplikasikan dengan semprotan
volume tinggi bila kondisi kondusif bagi timbulnya Erwinia amylovora.
7.
Pseudomonas aureofaciens
Isolat Tx-1 diisolasi dari jaringan
pangkal batang semacam rumput pada tahun 1989, dan digunakan sebagai fungisida
mikrobiologi untuk mengendalikan Sclerotinia
homeocarpa, Colletrotichum spp., dan Pythium
aphanidermatum, terutama pada rumput
hias (turf). Pseudomonas aureofaciens menghasilkan metabolit yang
beracun bagi jamur sasaran, seperti phenazine
carboxylic acid (PCA) dan derivatnya.
8.
Pseudomonas chlororaphis (Guingard &
Sauvageau) Bergey
Fungisida mikroorganisme ini
diisolasi dari bakteri tanah Pseudomonas
chlororaphis yang secara alami
terdapat mengkolonisasi akar tumbuhan, mengeluarkan senyawa yang memacu
pertumbuhan tanaman, dan menghambat tumbuhnya jamur penyebab penyakit. Tumbuhan
yang di akarnya terdapat P. chlororaphis,
karenanya, perkembangan akarnya lebih baik, tumbuhan lebih sehat, hasilnya
lebih baik. Pseudomonas chlororaphis dimanfaatkan sebagai
fungisida untuk mengendalikan jamur penyakit tular-tanah (soil-borne) dan tular-benih (seed-borne).
Diaplikasikan dengan cara perlakuan benih pada tanaman serealia, dan ada pula
yang diformulasi sebagai WP untuk menyemprot tanaman di rumah kaca dan
pesemaian tanaman hias dan sayuran.
9.
Pseudomonas fluorescens (Trevisan)
Migula
Fungisida dan bakterisida. Terdiri
atas beberapa isolat, dengan efikasi serta organisme target yang berbeda. Salah
satu isolat digunakan sebagai fungisida untuk mengendalikan penyakit fire blight (Erwinia amylovora) serta
penyakit tular tanah Fusarium dan Rhizoctonia. Isolat lain digunakan untuk
mengendalikan Pseudomonas tolassi. Yang lain-lagi digunakan
sebagai anti-frost.
10. Pseudomonas syringae Van Hall
Dahulu dikenal sebagai Pseudomonas cerasi, Pseudomonas syringae digunakan sebagai fungisida
untuk mengendalikan penyakit-penyakit pasca-panen di penyimpanan, pada tanaman
apel, pir, sayuran , lemon, jeruk, pisang dan sebagainya. Yang sudah diproduksi
secara komersial adalah isolat ESC-10 (006441), dan ESC-11 (006451).
Diaplikasikan baik sebagai dipping (pencelupan) atau penyemprotan.
Cara kerjanya belum sepenuhnya dipahami, namun P. syringae akan menutupi permukaan buah-buah yang diperlakukan dan
menghalangi jamur patogen untuk menyerang buah tersebut.
11. Streptomyces griseoviridis Anderson et al
Beberapa
isolat Streptomyces griseoviridis diketahui mempunyai sifat
antagonis terhadap jamur patogen tular-benih dan tular-tanah. Dari beberapa
isolat yang diisolasi oleh Departement of
Plant Pathology University of Helsinki, dipilihlah isolat K 61 untuk
dikembangkan lebih lanjut. Isolat K 61 bekerja sebagai fungisida dengan
berbagai macam cara. Pertama bakteri ini akan mengkolonisasi daerah perakaran
dan berkompetisi dengan jamur patogen dalam hal ruang dan nutrisi. Selanjutnya
P. griseoviridis isolat K 61 juga
menyebabkan hancurnya dinding sel jamur patogen oleh enzym yang diproduksi oleh
isolat K 61. Akhirnya, S. griseoviridis
isolat K 61 juga menghasilkan metabolit yang bersifat anti-jamur.
Sebagai
fungisida digunakan untuk mengendalikan jamur patogen tular-tanah, terutama Fusarium spp., yang menyebabkan layu
fusarium, dan busuk akar. Juga menunjukkan efikasi untuk mengendalikan jamur
tular-tanah dan tular-benih lainnya, seperti Alternaria spp., Pythium
spp., Phytophthora spp., Rhizoctonia spp., dan Botritys cinerea; pada tanaman sayuran, tanaman hias atau semak dalam rumah
kaca.
Produk
mengandung S. griseoviridis isolat K
61 diaplikasikan sebagai seed treatment, disemprotkan atau dikocorkan
(drenching) pada media tanam. Direkomendasikan
untuk tidak mencampurnya dengan pestisida lain atau pupuk cair, dan jangan
gunakan air yang mengandung klorin untuk mengencerkannya.
12. Streptomyces lydicus De Boer et al
Bakteri bermanfaat Streptomyces lydicus adalah bakteri (Actinomycetales) saprofit dan banyak
terdapat pada daerah perakaran. Isolat WYEC 108 yang diproduksi secara
komersial diisolasi dari tanaman linseed
di Amerika Serikat, dan digunakan sebagai fungisida untuk mengendalikan jamur
patogen tular-tanah, jamur penyebab busuk akar dan rebah kecambah pada tanaman
di rumah kaca, sayuran serta tanaman hias. Sangat menjanjikan untuk
dikembangkan pada tanaman pertanian lainnya. Beberapa jamur patogen yang dapat
dikendalikannya adalah Fusarium, Rhizoctonia, Pythium, Phytophthora,
Phytomatotricum, Aphanomyces, Monosprascus, Armillaria dan jamur perusak akar
lainnya.
Diaplikasikan dengan cara dicampur
dengan tanah atau dikocorkan (drenching),
tidak digunakan untuk menyemprot tanaman secara langsung. S. lydicus isolat
WYEC 108 selanjutnya akan berkembang dan mengkolonisasi daerah perakaran
tanaman, bertindak sebagai parasit dari jamur patogen (mikoparasit) dan
melindungi tanaman dari jamur patogen. S. lydicus
juga menghasilkan metabolit (antibiotika atau senyawa anti-jamur lainnya) ke
daerah perakaran. Tanaman yang ditanam di tanah yang telah diperlakukan dengan
S. lydicus juga menunjukkan
peningkatan tampilan bibit, sistim perakaran yang lebih kuat, hasil meningkat
dan menekan jumlah tanaman yang lemah.
2.3.4 Nematisida
Biopestisida dapat
diartikan sebagaimana semua bahan hayati, baik berupa tanaman , hewan, mikroba
atau protozoa yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama dan penyakit pada
tanaman. Penggunaannya memberikan banyak manfaat selain efektif mengendalikan
hama dan penyakit, ternyata terbukti dapat meningkatkan hasil panen. Nematisida Biologi (Bionematisida), berasal dari kata latin nematoda atau
bahasa Yunani nema yang berarti benang, berfungsi untuk membunuh nematoda
(semacam cacing yang hidup di akar).
A. Nematoda
Morfologi
nematoda
Nematoda termasuk dalam kerajaan
hewan, dan spesiesnya bersifat parasit pada tumbuhan, berukuran sangat kecil
yaitu antara 300 - 1000 mikron, panjangnya sampai 4 mm dan lebar 15 - 35
mikron. Karena ukurannya yang sangat kecil ini menyebabkan hewan ini tidak
dapat dilihat dengan mata telanjang akan tetapi hanya bisa dilihat dengan
mikroskop
Jenis
nematoda yang merugikan
Salah satu jenis nematoda yang merugikan dan menyerang tanaman adalah Meloydogyne Sp. Nematoda parasit seperti
nematoda puru akar (Meloidogyne spp.)
adalah satu patogen yang menyerang tanaman tomat dan lada, kentang, bunga
krisan dll. Serangan Meloidogyne spp.
pada akar dapat menurunkan produksi sebanyak 15 – 60 persen, bahkan dapat
mencapai 70 persen bila tanaman yang terserang rentan Percobaan menunjukkan
bahwa dengan sekitar 500 – 800 larva Meloidogyne
spp per kilogram tanah dapat menurunkan produksi sebesar 40 persen.
Serangan nematoda sering berasosiasi dengan organisme lainnya, misalnya dengan
cendawan dan bakteri. Nematoda parasit puru akar (Melodogyne, spp) memiliki empat stadium pertumbuhan yaitu telur,
larva, pupa dan imago. Telurnya berbentuk bulat dan berkelompok dan ditutupi
oleh lapisan gelatin. Tahap penentuan apakah Nematoda berjenis kelamin jantan
atau betina. Faktor lingkungan sangat berpengaruh untuk menentukan jenis
kelamin. Nematoda Melodogyne, spp
terutama ketersediaan makanan, apabila makanan tersedia dalam jumlah yang cukup
maka Nematoda berkembang menjadi betina, tetapi apabila tidak tersedia dalam
jumlah yang memadai larva Nematoda akan berkembang menjadi jantan. Nematoda
betina berbentuk seperti botol (badannya besar sedangkan mulai dari leher dan
mulutnya mengecil), sedangkan Nematoda jantan tubuhnya berbentuk silindris
memanjang. Adapun Klasifikasi Nematoda Meloidogyne
spp menurut (Luc et al, 1995) adalah sebagai berikut :
Filum : Nemathelminthes
Kelas :
Nematoda
Sub Kelas :
Secernenteae
Ordo :
Thylenchina
Famili :
Heteroderidae
Genus :
Meloidogyne
Spesies :
Meloidogyne spp
Pengendalian Meliodogyne spp. secara hayati telah banyak dilakukan oleh para ahli
nematologi yang perduli terhadap kelestarian lingkungan. Dari berbagai
penelitian diketahui bahwa beberapa agen hayati dapat mengendalikan populasi
nematoda hingga di bawah ambang kendali.
Indonesia yang terletak di daerah tropik diketahui
memiliki kekayaan mikroflora yang melimpah. Diantara mikroflora yang tumbuh di
alam indonesia ada yang potensial sebagai agen hayati untuk mengendalikan Meloidogyne
spp. pemanfaatan agen hayati dalam
industri florikultura perlu dikembangkan untuk memecahkan masalah nematoda,
sekaligus mengurangi ketergantungan penggunaan bahan kimia yang berarti akan
mengurangi biaya produksi, menghindari pencemaran lingkungan dan menjamin
kelangsungan sistem produksi florikultura yang sesuai dengan tuntutan
masyarakat global.
Secara alami mikroflora berperan secara aktif dalam
dinamika populasi nematoda parasit. Hal ini terjadi pada ekosistem yang
seimbang. Di dalam ekosistem pertanian, dimana manusia sering melakukan
perubahan lingkungan, peran musuh alami menjadi terabaikan. Untuk meningkatkan
peran musuh alami dalam pengendalian populasi nematoda parasit, maka dibutuhkan
upaya isolat-isolat yang terbukti efektif ke dalam ekosistem pertanian. Dalam
beberapa kasus teknik membuktikan musuh alami tersebut mampu secara signifikan
menekan populasi nematoda bengkak akar.
Beberapa jenis mikroflora yang tumbuh di alam
Indonesia dan potensial sebagai agen pengendali Meloidogyne spp. dapat dikelompokan berdasarkan
jenisnya, yaitu: (1) kelompok fungi, misalnya Dactylaria, Dactylella,
Arthrobotrys, Botrytis (pembentuk hifa jerat), Paecilomyces, Aspergillus,
Penicillium dan Fusarium (fungi oportunistik) dan (2) kelompok
bakteri, misalnya Pasteuria penetrans (bersifat obligat). Setiap
kelompok mikroflora tersebut hidup bebas di dalam tanah dan dapat diisolasi
masing-masing dengan menggunakan teknik spesifik. Hasil penelitian menunjukan
bahwa
Cara
nematoda Meloidogyne spp menyerang
akar dan pengaruhnya terhadap tanaman
Nematoda yang menyebabkan penyakit
dan kerusakan pada tanaman hampir semuanya hidup di dalam tanah, baik yang
hidup bebas di dalam tanah bagian luar akar dan batang yang ada di dalam tanah
bahkan ada beberapa parasit yang hidupnya bersifat menetap didalam akar dan
batang. Konsentrasi hidup nematoda lebih besar terdapat didalam perakaran
tumbuhan inang terutama disebabkan oleh laju reproduksinya yang lebih cepat
karena tersedianya makanan yang cukup dan tertariknya nematoda oleh zat yang
dilepaskan dalam rizosfir. Nematoda parasit tanaman merupakan parasit obligat,
mengambil nutrisi hanya dari sitoplasma sel tanaman hidup. Memiliki ukuran yang
sangat kecil, tetapi menyebabkan kehancuran pada tanaman pangan dan
hortikultura di seluruh dunia sehingga menyebabkan kerugian yang banyak.
Beberapa nematoda parasit tanaman
adalah ektoparasit, hidup di luar inangnya. Spesies jenis ini menyebabkan
kerusakan berat pada akar dan dapat menjadi vektor virus yang penting. Kumpulan telur nematode Meloidogyne dilindungi
oleh cairan pekat. Larva stadium kedua akan ke luar dari telur, berbentuk
cacing dengan ukuran panjang 0,3-0,5 mm. Larva tersebut bergerak aktif melalui
selaput air di antara partikel-partikel tanah dan menyerang akar tanaman dengan
cara melukai epidermis ujung akar dengan stilet (alat penusuk dan pengisap pada
mulutnya) lalu masuk ke dalam jaringan sampai ke jaringan tengah. Larva
tersebut mengisap cairan sel akar. Cairan pencernaan yang dikeluarkan oleh
nematoda ini merangsang terjadinya pembelahan sel akar sehingga terjadi
pembengkakan. Keadaan ini dibutuhkan untuk perkembangan larva. Nematoda betina
berbentuk seperti buah per dengan ukuran panjang 0,5 - 1,2 mm. Nematoda jantan
berbentuk cacing memanjang dengan ukuran 1,0 - 2,0 mm.
Nematoda dewasa terus-menerus
bergerak tiap detik, tiap jam, tiap hari dan menetap di sekitar akar. Dalam
gerakan - gerakan tersebut nematoda menggigit dan menginjeksikan air ludah pada
bagian akar tumbuhan., menyebabkan sel tumbuhan menjadi rusak. Gejala kerusakan
pada akar akibat gigitan nematoda ditandai dengan adanya puru akar ( gall ).
Luka akar, ujung akar rusak dan akar akan membusuk apabila terinfeksi nematoda
tersebut disertai oleh bakteri dan jamur patogen. Gejala kerusakan pada akar
biasanya selalu diikuti oleh pertumbuhan tanaman yang lambat dikarenakan
terhambatnya penyerapan unsur hara oleh akar yang akhirnya terjadi defisiensi
hara seperti daun menguning, layu pada cuaca kering dan panas, sehingga
produktifitas dan kuantitas hasil panen menurun bahkan untuk tanaman-tanaman
tertentu mengakibatkan tanaman tidak dapat panen sama sekali ( Fuso ), menurun
dan kualitasnya jelek.
Dengan menetapnya nematoda dalam
akar secara tidak langsung dapat menimbulkan luka mekanik pada
akar di samping itu dapat menjadi tempat berkumpulnya banyak spora jamur
patogen dan bakteri yang siap masuk kedalam jaringan. Walaupun nematoda itu
sendiri dapat menjadi penyebab penyakit, nematoda juga terus menerus
dikelilingi oleh jamur dan bakteri, yang banyak menjadi penyebab penyakit,
Kombinasi Nematoda patogen ini menghasilkan kerusakan yang jauh lebih besar
dari kerusakan yang ditimbulkan apabila kedua patogen tersebut menyerang
sendiri-sendiri.
A.
Nematoksida biologi dari bakteri
Salah satu
spesies bakteri yang berguna sebagai nematisida biologi adalah Bakteri Pasteuria penetrans. Bakteri Pasteuria penetrans sangat potensial
untuk dikembangkan sebagai salah satu komponen pengendalian nematoda pada
tanaman lada. Pengendalian hayati ini diharapkan dapat mengurangi penggunaan
pestisida kimia (nematisida) yang berdampak negatif terhadap lingkungan.
Penyakit tersebut disebabkan oleh nematoda parasit terutama Meloidogyne incognita. Akibat serangan
nematoda tersebut, pertumbuhan tanaman menjadi terhambat serta warna daun dan
dahan menjadi kuning. Daun-daun yang menguning tidak menjadi layu, tetapi
tergantung kaku dan sangat rapuh sehingga secara
bertahap akan gugur. Untuk mengendalikan penyakit kuning, para
petani lada biasanya menggunakan bahan kimia. Namun, penggunaan bahan kimia
secara terus menerus dapat mencemari lingkungan, dan resistensi
nematoda serta terbunuhnya musuh-musuh alami yang
mempunyai peranan dalam menjaga keseimbangan hayati.
Nematoda parasit dapat dikendalikan dengan menggunakan agen hayati
yang merupakan musuh alaminya, misalnya bakteri Pasteuria penetrans. Bakteri ini
tersebar luas di berbagai daerah serta dapat bertahan hidup lama di dalam tanah
karena mampu membentuk spora yang tahan terhadap kekeringan. Dilaporkan bahwa P. penetrans mampu menekan populasi M. incognita pada tanaman tembakau,
kacang tanah, dan tomat.
Uji coba
penggunaan Bakteri Pasteuria penetrans di laboratorium
Bakteri Pasteuria penetrans merupakan salah satu
alat kontrol biologis pada nematoda puru akar yang mempunyai prospek yang baik
dimasa yang akan datang. Perkembangan dari spora Pasteuria penetrans pada nematoda hampir sama dengan pertumbuhan
vegetatif pada jamur. Dewasa ini Pasteuria penetrans mempunyai biakan yang
selalu terdapat pada inang (Meloidogyne
spp). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari siklus hidup dari
bakteri pada nematoda puru akar, dan mengetahui karakteristik morfologi spora
dari Pasteuria penetrans. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa spora Pasteuria
penetrans menghasilkan buluh kecambah yang kemudian menembus ke tubuh
nematoda 10 hari setelah diinokulasi, koloni-koloni kecil telah muncul pada
pengamatan 15 hari setelah diinokulasi, Perkembangan vegetatif: cabang, ruas,
dan pembesaran pada beberapa bagian tubuh muncul 18 hari setelah inokulasi,
benang-benang spora bertambah besar, bercabang dan ujung-ujungnya pecah pada
umur 23 hari setelah inokulasi, spora-spora tersebar keseluruh tubuh nematoda
pada umur 28 hari setelah inokulasi, dan endospora tunggal telah siap menembus
tubuh inang 30 hari setelah inokulasi
B.
Nematoksida biologi dari jamur
Agen hayati sebagai alternatif dalam pengendalian penyakit tanaman yang
ramah lingkungnan dan mudah diaplikasikan. Beberapa agen hayati yang
dapat dipilih diantaranya, Cendawan Paecilomyces liliacinus digunakan
sebagai pengendali hayati Meloidogyne spp (nematode bengkak akar) yang
daplikasikan pada media kompos. P. lilacinus yang
diisolasi dari tanah ternyata mampu mengendalikan populasi nematoda bengkak
akar pada tanaman kentang hingga mencapai 30%. Demikian pula P. penetrans
sangat efektif menekan populasi Meloidogyne sp. sekitar 57% dalam pengujian skala in vitro maupun semi
lapangan). Hasil penelitian yang di lakukan menunjukan bahwa dari 16 isolat
fungi penghuni tanah yang diinfestasikan ke dalam tanah, 12 isolat diantaranya
dapat menekan tingkat serangan Meloidogyne sp ada bunga krisan dan kentang. Salah satunya adalah Paecilomyces liliacinus.
Untuk dapat diaplikasikan di
lapangan, maka agen hayati perlu diformulasikan. Formulasi yang ideal selayaknya
memenuhi persyaratan sebagai berikut: mudah larut dalam air, ringan, tidak
mengurangi patogenisitas hayati, mudah diaplikasikan dan mampu mempertahankan
viabilitas agen hayati. Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian tentang
formulasi agen hayati perlu dilakukan.
Uji coba
penggunaan jamur Paecilomyces
liliacinus yang menginfeksi bunga krisan di laboratorium
Percobaan dilakukan pada pot-pot plastik yang diisi
dengan 1 liter media tanah steril. Tiap formula agen hayati sesuai dengan
perlakuan yang telah ditentukan diinfestasikan ke dalam tanah. Media tanah di
dalam pot yang telah diinfestasi dengan formula agen hayati segera diinfestasi
dengan 1000 ekor Meloidogyne sp. Tiap pot, kemudian diinkubasikan pada
suhu kamar dan kelembabannya dipertahankan dengan cara penyiraman. Setelah
diinkubasi selama ± 7 hari, kemudian pot-pot tersebut ditanami dengan bibit
krisan yang berumur 2 minggu. Perlakuan terdiri dari satu jenis agen hayati
yaitu cendawan P. lilacinus, dalam tiga macam formulasi yaitu pelet,
kompos dan suspensi dan dengan tiga level dosis masing-masing formulasi pelet
dan kompos 3, 6, dan 9 gram per pot serta dosis suspensi 3, 6 dan 9 ml per pot.
Tiap perlakuan terdiri dari 10 pot tanaman krisan. Percobaan dilakukan dengan
rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga ulangan. Penilaian aktivitas
antagonistik agen hayati terhadap nematoda bengkak akar (Meloidogyne spp.) didasarkan pada jumlah bengkak
akar yang terbentuk dalam tiap 10 gram akar segar setelah tanaman berumur 40
hari. Berdasarkan analisis ragam data hasil pengamatan menunjukkan bahwa secara
umum dapat dikatakan semua perlakuan dapat menekan terbentuknya bengkak akar
pada tanaman krisan. Namun demikian penekanan yang nyata terjadi pada perlakuan
formulasi kompos dengan dosis 9 gram/pot dan formulasi suspensi dengan dosis 9
ml/pot (Tabel 1). Pada kedua perlakuan tersebut pembentukan bengkak akar memperlihatkan
perbedaan yang nyata jika dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan-perlakuan
lainnya walaupun menunjukkan penekanan terbentuknya bengkak akar, tetapi
tingkat penekanannya tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan kontrol.
Morgan –Jones et al. (1984) mempelajari
mekanisme paratisitisme P. lilacinus terhadap telur dan larva Meloidogyne
spp . Hipha cendawan P. lilacinus masuk ke dalam kulit telur melalui
lubang kecil. Cendawan kemudian tumbuh dan menghacurkan khitin dan lipid dari
lapisan kulit serta menghancurkan isi telur. Cara yang sama terjadi pada larva
stadium kedua . Menurut Jatala (1985) telur Meloidogyne spp. yang terletak di dalam matrik
gelatin sangat mudah diserang oleh P. lilacinus. Cendawan yang
menginfeksi massa telur, tumbuh sangat cepat dan akhirnya memparasit semua
telur yang ada di dalam massa telur tersebut.
2.4 Manfaat Biopestisida
Pestisida Biologi digunakan untuk
mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman. Penggunaannya memberikan banyak
manfaat. Penggunaan Biopestisida pun umumnya lebih efektif pada dosis rendah
dan cepat terurai sehingga pemaparannya lebih rendah dan terhindar dari masalah
pencemaran. Biopestisida dapat memberi manfaat pada lingkungan, sehingga
lingkungan dapat menjadi lebih sehat dengan adanya pemanfaatan lingkungan
secara maksimal tanpa bahan kimia.
2.5 Keuntungan Dan Kerugian Pestisida Biologi
Keuntungan
pestisida biologi ialah :
Ø Murah dan mudah dibuat
Ø Tidak menyebabkan keracunan pada
tanaman (toksisitas)
Ø Tidak menimbulkan kekebalan pada
hama
Ø Relatif aman bagi lingkungan
Ø Kompatibel bila digabung dengan cara
pengendalian yang lain.
Ø Hasil pertanian yang sehat dan bebas
residu pestisida.
Ø Mengalami
degradasi/penguraian yang cepat oleh sinar matahari.
Ø Memiliki
efek/pengaruh yang cepat, yaitu menghentikan nafsu makan serangga walapun
jarang menyebabkan kematian.
Ø Toksitasnya
umumnya rendah terhadap hewan dan relatif lebih aman pada manusia (lethal
dosage (LD) >50 Oral).
Ø Memiliki
spektrum pengendalian yang luas (racun lambung dan syaraf) dan bersifat
selektif.
Ø Dapat
diandalkan untuk mengatasi OPT yang telah kebal pada pestisida sintetis.
Ø Phitotoksitas rendah,
yaitu tidak meracuni dan merusak tanaman.
Ø Bahan baku
sangat melimpah dan tersedia di alam
Ø Karena
bersifat selektif maka relatif aman terhadap organisme yang bersifat sebagai
predator atau pemangsa alami
Ø Mudah dibuat
dan diperbanyak sendiri bahkan oleh petani awam sekalipun
Ø Selain itu
juga berfungsi sekaligus sebagai pupuk organik cair
Kerugian
pestisida biologi ialah :
Ø Daya kerja relatif lambat
Ø Tidak membunuh langsung jasad
sasaran
Ø Tidak tahan terhadap sinar matahari
Ø Kurang praktis
Ø Tidak tahan disimpan
Ø Penyemprotan dilakukan berulang-
ulang
Ø Cepat
terurai dan aplikasinya harus lebih sering.
Ø Daya
racunnya rendah (tidak langsung mematikan serangga/ memiliki efek lambat).
Ø Kapasitas
produksinya masih rendah dan belum dapat dilakukan dalam jumlah massal (bahan
tanaman untuk pestisida nabati belum banyak dibudidayakan secara khusus).
Ø Ketersediaannya
di toko-toko pertanian masih terbata
Comments
Post a Comment